Perjalanan
bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini
tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno
(2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat
bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang
tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi
ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang
berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di
kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling.
Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari
pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa
bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak
perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena
dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja
pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak
melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga
yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah
dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata
dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran
siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan
para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang
menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani
sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti
dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan
individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan
Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah
pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan
dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan
pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen),
yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal.
Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing
memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan
dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat
persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan
psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari
penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai
dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah
konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan
konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter
dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan
orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang
dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis
medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan
masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan
mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya
perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani
masalah-masalah yang bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan
dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa,
khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti
bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif
atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan
berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya
mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat
proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan
maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling tidak hanya
diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan
tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa
(Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat
kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan
konseling yang tersedia.
5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau
“kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya
orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang
diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah
yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi
wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit
petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam
mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan
pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama
(gejala) saja.
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang
diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun
seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti
masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering
tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah
berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih
dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang
menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah
diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu
pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih
jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling
penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan
tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga
menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah
(referal) kepada pihak yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai
“polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan
konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata
tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas
mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang
bersalah.
Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling
pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan
sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang
dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk
jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku
positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan
konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses
pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan
yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian
kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan
konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan
pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama
dengan ahli atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah
proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur
budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling
tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang
diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh
klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak
berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang
tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu
penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja
.Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain
sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan
kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa
yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula
memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan
pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru
pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.
Namun demikian, konselor atau guru pembimbing
tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga
profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa
tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru
pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik
pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan
orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional
justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan
orang lain atau ahli.
11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping
konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak
lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses
tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor
bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif,
bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta
layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu
kelancaran usaha pelayanan itu.
Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan
konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata
ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya
bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini
konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak
berjalan sama sekali.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh
siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat
dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”.
Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang
mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”,
jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas
tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri
keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus
dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.
Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di
Perguruan Tinggi.
13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi
masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait
dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua
masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang
dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara
mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang
berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung
pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai,
kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan
instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan
dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan
pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket
dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak
boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha
pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan
ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa
lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas
bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki
secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang
diperlukan
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera
terlihat.
Disadari bahwa semua orang menghendaki agar
masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun
dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih
kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam.
Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke
mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru
dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian..
Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi
seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru
pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.
Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK
(Buku II). Depdiknas : Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, H.B. Psikoterapi & Konseling Islam (Penerapan Metode
Sufistik).Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Ancok, J. & Suroso, F.N. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2000.
As Shiddiqy, TM. Tafsir Al Qur’an Al Majied: An Nur. Jakarta: Bulan Bintang,
1996.
Bastaman, H.D. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Bishop, D.R. 1992 Religius Values as Cross-Cultural Issues in Counseling.
Counseling and Values, (36): 179-191,.
Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. Riset Kualitatif Untuk Pendidikan: Pengantar ke
Teori dan Metode. Terjemahan Munandir. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direkturat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1990.
Brian, J. Zinnbauer and Kenneth I. Pergement. 2000. Working With The Sacred:
Four Approaches to Religious and Spiritual Issues in Counseling. Journal of
Counseling & Development. (78): 162-170.
Corey, G. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi ke-5.
Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company, 1996.
Cottone, R.R. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston:
Allyn and Bacom, 1992.
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Al
Qur’an Pelita IV / Tahun I, 1984/1985.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 1990.
Gania, V. 1994. Scular Psychotherapists and Religious Clients: Profesional
Consideration and Recommendations. Journal of Counseling and Development. (72):
395-398.
Gilliland, B.E., James, K.R., Bowman,J.T. Theories and Strategie in Counseling
and Pasychotherapy. Boston: Allyn and Bacom, 1984.
Hall, C.H., Lindzey, G. Theories of Personality. New York: John Wiley &
Sons, INC., 1970.
Ismail, M. Shahih Al-Bukhari, Juz. 1 – 4. Istambul Turki: Al-Maktabah
Al-Islami, 1979.
Kivlighan, Jr, D.M. and Shaughnessy, P. 1995.Analysis of the Development of the
Working Alliance Using Hierarchical Linear Modeling. Journal of Counseling
Psychology 42: 338–349.
Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja
Rosdakarya, 2001.
Munawwir, A.W. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren
Al-Munawwir, 1994.
Madjid, N. Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang.
Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat (hlm.9-58). Bandung:
Zaman Wacana Mulia, 1999.
Muzhahiri, H. Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani. Terjemahan Ahmad
Subandi: PT. Lentera Basritama, 2000.
Mujib, A. & Mudzakir, J.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001.
Nelson-Jones. Counseling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen
& Unwin Pty Ltd., 1995.
Pidarta,M. 1999. Studi tentang Landasan Kependidikan. Jurnal Filsafat, Teori,
dan Praktik Kependidikan. (26): 3-15.
Rachman, B.M. Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah (Pemikiran Neo-Modernisme
Islam Di Indonesia. Dalam Effendy, E.A (Ed.). Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat
(hlm.99-141). Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999.
Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT.
Al-Ma’arif, 1993.