Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus
diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan
miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap
pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja
Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan
miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap
polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi
pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu
saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri,
konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa
pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada
keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat,
menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK
pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan
BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah
diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus
diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Belum adanya hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai
dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP
Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak
tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang
berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi
bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI
inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan
Bimbingan dann Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.
2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan
BP di sekolahLahirnya SK Menpan No.
026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk
melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau
membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau
guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau
Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih
kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas.
Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari
guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran
untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan
tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah.
3. Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa,
oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan
juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah
banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun,
guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka
kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak
dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat
terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang
bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang
memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah
berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari
segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain
itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:
- Guru BP
(sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan
fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi
tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan
salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
- Guru
Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam
kelaskelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti
bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
- Guru
Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi
para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk,
tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau
rok.
- Kepala
Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program
pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di
sekolahnya.
- Terjadi
persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas
dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana
yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.Kondisi-kondisi
seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.
Lahirnya Pola 17
Program layanan bimbingan Konseling tidak dapat
berjalan dengan efektif apabila tidak didukung dengan profesionalismenya guru
BK tersebut dalam melayani siswanya dengan terprogram secara efektif apabila
kurang atau tidak didukung faktor lain, misalnya faktor pengalaman bekerja.
Layanan konseling yang diberikan kepada peserta
didik untuk belajar dengan efektif. Efektivitas konseling dapat tercapai bila
seorang konselor atau guru pembimbing melaksanakan pola 17, antara lain:
- bidang
bimbingan pribadi,
- bidang
bimbingan sosial,
- bidang
bimbingan belajar,
- bidang
bimbingan karier.
Sedangkan tujuh layanan bimbingan dan konseling
meliputi :
- layanan
orientasi,
- layanan
informasi,
- layanan
penempatan dan pengukuran,
- layanan
pembelajaran,
- layanan
konseling perorangan,
- layanan
bimbingan kelompok,
- konseling
kelompok.
Dan lima kegiatan pendukung layanan bimbingan dan
konseling, meliputi:
- aplikasi
instrumentasi,
- himpunan
data dan studi kasus,
- kunjungan
rumah, dan
- alih
tangan kasus.
Jika pola 17 bimbingan konseling dapat
dilaksanakan maksimal, terprogram, dan berkualitas, dapat menunjang hasil
belajar siswa. Pelaksanaan bimbingan konseling pola 17 tersebut dapat maksimal
apabila dalam kurikulum diberikan alokasi waktu minimal 1 jam pelajaran
sehingga empat bidang bimbingan, delapan layanan, dan lima kegiatan pendukung
dapat diberikan pada seluruh siswa dan bukan pada siswa yang bermasalah saja.