Islam, Ya Islam!
Buletin Studia Edisi 221/Tahun ke-5 (6 Desember 2004)
Bukan sulap bukan sihir. Jangan pula kaget, apalagi sutris
kalo akhir-akhir ini banyak yang benci sama Islam. Kalo dia musuh Islam, ya
wajar aja. Tapi mungkin rada-rada terkejut kalo yang nggak suka sama Islam
justru kaum muslimin itu sendiri. Ada yang nekatz bikin tafsir baru tentang
ayat-ayat yang ada di al-Quran, ada pula yang tega menyebutkan bahwa Islam
nggak berpihak pada wanita dengan adanya hukum poligami, yang menurut
pengkritiknya, menyengsarakan kaum wanita. Malah, nggak sedikit yang kemudian
memodifikasi Islam dengan ajaran lainnya, maka muncul istilah Islam liberal,
Islam moderat untuk menandingi istilah yang mereka buat sendiri, yakni Islam
fundamentalis, Islam radikal, Islam garis keras dsb. Waduh!
Ehm, saya nggak bermaksud memprovokasi supaya kamu jadi
beringas, pasang muka garang, tangan mengepal siap melayangkan bogem mentah
kepada mereka yang mulai mempertanyakan kebenaran Islam. Nggak, di buletin ini
saya cuma ingin ngajak kamu belajar, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam.
Tenang aja. Nggak gerasak-gerusuk kayak orang mo kebelet
pipis. Pikiran tenang, hati jernih, insya Allah bisa ngendaliin keadaan.
Jadinya, kita juga bisa melawan setiap upaya penghancuran ajaran Islam dengan
kajian yang mencerdaskan pula. Paling nggak, kita ngasih jawaban yang berasal
dari ajaran Islam. Bukan dari yang lain. Sebab, kalo dilawan dengan hawa nafsu
juga akibatnya bisa fatal banget.
Kita pengen coba bahas sedikit kenapa masih ada yang
meragukan ajaran Islam. Padahal, Islam emang beda! Beda ama agama mana pun dan
emang nggak bisa disamain dengan ideologi mana pun. Makanya banyak yang nyesek
kalo Islam sampe kembali memimpin dunia ini. Panas dingin deh. Kenapa? Karena
pasti akan menjadi pesaing utama ideologi yang ada, khususnya Kapitalisme.
Jadinya, setiap ada usaha kaum muslimin untuk memurnikan ajaran Islam, pasti
deh dikecam, pasti tuh dicemooh, bahkan dengan sadis bilang kalo Islam tuh
ngajarin terorisme. O..ow! (nggak salah nuduh nih?)
Sobat muda muslim, jangan dulu begidik tanda nggak suka
dengan bahasan kita kali ini, jangan pula langsung melempar buletin ini ke
tempat sampah. Sebab, di sini saya janji nggak bakalan ngedoktrin kamu dengan
cara menggurui (apalagi menghakimi). Nggak. Tapi saya coba ngajak kamu
berpikir, berusaha menuntun kamu dengan ngajak ngobrol asyik soal yang katanya
berat-berat itu. Setuju kan?
Ketika Islam dipertanyakan
Rasa-rasanya emang aneh. Tapi beginilah kenyataannya. Kamu
pasti udah denger dong soal KHI alias Kompilasi Hukum Islam? Yup, counter legal
draft KHI ini udah bikin geger. Kenapa? Soalnya, draft yang disusun oleh Tim
Pengarusutamaan Gender bentukan Depag ini ganjil banget (makhluk ganjil dong?).
Disebutkan bahwa poligami dilarang. Perkawinan beda agama malah disahkan. Kawin
kontrak diizinkan. Pembagian waris antara laki dan perempuan harus sama dan
sebanding. Udah gitu, ngasih batas perkawinan minimal 19 tahun. Laki-laki,
sebagaimana umumnya perempuan—juga memiliki masa ‘iddah (misalnya kalo udah
cerai kudu menanti sekian bulan untuk bisa menikah lagi), seorang gadis boleh
menikahkan dirinya sendiri tanpa walinya (padahal yang benar hal itu cuma
berlaku untuk para janda). Walah!
Sobat muda muslim, kalo diusut-usut (tapi nggak sampe kusut
lho), ternyata draft KHI ini disusun berdasarkan empat pendekatan: gender,
pluralisme, hak asasi manusia dan demokrasi. Heuheu... pantes aja kacau-beliau.
Karena semua itu tidak saja bertentangan dengan Islam, tapi juga menentang Islam.
Jadi, memang nggak bakalan bisa nyetel untuk ngatur Islam, tapi aturannya dari
luar Islam. Ibarat mo bikin sayur lodeh kok pake resep bumbu untuk sop? Nggak
nyetel tuh!
Kalo menurut Pak Adian Husaini, salah seorang anggota MUI,
“Menyimak dasar pijakan penyusunan draft KHI, sebenarnya pola pikir yang
mendasari tim penyusun bukanlah pola pikir yang berkembang dalam tradisi Islam.
Epistimologi atau metodologi penafsiran al-Quran dan Sunnah yang digunakan
bukanlah metodologi penafsiran yang digunakan kaum muslimin selama ini. Mereka
lebih suka meminjam metodologi hermeneutis. Mereka lebih percaya kepada Paul
Ricour, Ferdinand de Saussure, Emmilio Betti, Michel Foucault, Antonio Gramsci,
John Hick, Wilfred Cantwell Smith, dan teman-temannya, ketimbang percaya kepada
Imam as-Syafi'i atau al-Ghazali.” (Sabili, No. 8 Th. XII 5 Nopember 2004)
Ambil contoh soal larangan poligami yang termuat dalam draft
KHI tersebut, “Asas perkawinan adalah monogami. Perkawinan di luar itu harus
dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2)”
Aneh banget deh, sesuatu yang dimubahkan Allah malah mereka
larang, tapi yang udah jelas haramnya malah didiamkan atau bahkan didukung,
seperti pasal-pasal yang membolehkan perjanjian perkawinan dalam jangka waktu
tertentu dan perkawaninan beda agama. Kacau euy , padahal Allah telah
menghalalkan poligami sebagai solusi atas suatu permasalahan, bukan untuk
membuat permasalahan baru. Allah Swt. berfirman: “Jika kalian takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua,
tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja.” (QS an-Nisa' [4]: 3)
Tujuan ayat tersebut adalah membatasi jumlah isteri maksimal
empat, karena sebelum turunnya ayat ini, jumlah wanita yang boleh diperisteri
tidak ada batasannya. Dalilnya antara lain hadis Ghaylan bin Salamah ra, yang
telah masuk Islam dan dia mempunyai sepuluh isteri, lalu mereka masuk Islam
bersama Ghaylan. Maka Nabi saw. memerintahkan Ghaylan untuk memilih empat orang
di antara mereka. (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Jadi, poligami jelas adalah sesuatu yang halal. Bukan
sesuatu yang haram. Lalu, atas dasar apa mereka berani melarang sesuatu yang
telah dihalalkan Allah?
Sobat muda muslim, belum lagi soal perkawinan beda agama,
“Perkawinan beda agama boleh” (pasal 54). Idih, nekatz banget bilang boleh,
padahal Allah menjelaskan dalam firmanNya:
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Janganlah kalian menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik daripada orang-orang musyrik walaupun
dia menarik hati kalian.” (QS al-Baqarah [2]: 221)
Ini dua contoh pasal ganjil di draft KHI tersebut, kalo
dirunut semua, nggak cukup di buletin ini. Tapi intinya, draft itu dibuat
memang untuk melawan Islam.
Islam for All
Tolong, jangan ragukan Islam. Jangan coba-coba ngobrolin
Islam dan membahas aturannya dari kacamata ajaran lain. Apalagi sampe
memasukkan ajaran dari ideologi dan agama lain. Itu namanya nyari perkara.
Bukan beresin masalah, tapi bikin masalah tuh.
Justru sebaliknya kita pegang erat-erat ajaran Islam,
pahami, dan amalkan. Biar siapa pun tahu bahwa Islam memang rahmat bagi seluruh
alam. Nggak cuma untuk kaum muslimin aja. Kehadirannya bisa dirasakan dan
menyelamatkan kehidupan manusia. Tapi, kalo sekarang ada segolongan aja dari
kaum muslimin yang memasukkan ‘virus' pemikiran asing ke dalam ajaran Islam,
mana mungkin Islam bisa disebut rahmat bagi seluruh alam. Tul nggak? Entar
malah orang-orang yang nggak suka dengan Islam makin sebel aja ngelihat
“kekacauan” yang kini terjadi di antara kita.
Beginilah kalo Islam nggak diterapkan sebagai ideologi
negara. Banyak masalah muncul (termasuk soal KHI ini), dan jelas itu membuat
imej bahwa Islam bukan lagi menjadi rahmat bagi seluruh alam, tapi menjadi
bahaya bagi seluruh alam. Gawat banget kan? Padahal, jika Islam diterapkan
sebagai ideologi negara, paling nggak ada delapan aspek dalam kehidupan luhur
masyarakat manusia yang akan dipelihara, yaitu (lihat Muhammad Husain Abdullah ,
Dirasat fil Fikri al Islami, 1990, hlm. 61):
Memelihara keturunan, yakni dengan mensyariatkan nikah dan
mengharamkan perzinaan, serta menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para
pelaku perzinaan itu, baik hukum jilid maupun rajam.
Memelihara akal, yakni dengan mencegah dan melarang dengan
tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras ( muskir ) dan
narkoba ( muftir ) serta menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya.
Memelihara kehormatan, yakni dengan melarang orang menuduh
zina, mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, dan menetapkan
sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya.
Memelihara jiwa manusia, yakni dengan menetapkan sanksi
hukuman mati bagi orang yang telah membunuh tanpa hak, dan menjadikan hikmah
dari hukuman itu ( qishash ) adalah untuk memelihara kehidupan (coba deh lihat
QS al-Baqarah [2]: 179). Kalaupun tidak dikenai hukum Qishash, yang berlaku
adalah hukum diat . Yakni, keluarga korban berhak atas ganti rugi yang wajib
diberikan pihak keluarga pembunuh sebesar 1000 dinar (4250 gram emas) atau 100
ekor onta atau 200 ekor sapi.
Memelihara harta, yakni dengan menetapkan sanksi hukum
terhadap tindakan pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah
manusia dari tindakan menjarah harta orang lain. Demikian pula peraturan
pengampunan ( hijr ), yakni pencabutan hak mengelola harta bagi orang-orang
bodoh dengan menetapkan wali yang akan memelihara harta yang bersangkutan Islam
juga melarang tindakan belanja berlebihan, yakni belanja pada perkara haram.
Memelihara agama, yakni dengan melarang murtad serta
menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali
kepangkuan Islam. Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk
Islam (lihat deh QS al-Baqarah [2]: 256).
Memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman berat
sekali bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan
memberikan sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman
mati dan disalib bagi para pembegal jalanan (lihat: QS al-Maidah [5]: 33).
Hukum syariat demikian diberikan kepada semua warga negara, baik muslim atau
nonmuslim tanpa diskriminatif.
Memelihara negara, yakni dengan menjaga kesatuannya dan
melarang orang atau kelompok orang melakukan pemberontakan ( bughat ) dengan
mengangkat senjata melawan negara.
Oke deh, setiap hukum Islam bila diterapkan akan
menghasilkan ketenangan seperti itu. Kesemuanya itu akan dirasakan dan menjadi
hak setiap orang yang tunduk kepada aturan syariat Islam tersebut, baik muslim
ataupun bukan. Dengan demikian, melalui penerapan syariat Islam secara total
kemaslahatan akan dirasakan oleh semua umat manusia. Islam emang for all .
So, kurang apalagi? Selain kitanya yang emang kurang
berjuang. Yuk, berjuang untuk Islam. Jangan menghancurkannya! [solihin]
Sumber : www.dudung.net