Oleh;
Achmad Ikrom
Bohong,
tamak, rakus dan serakah pada hakekatnya adalah lahir dari ibu kandung yang
satu, yaitu kebodohan jiwa. (KH. Musthafa
Bisri).
Pendahuluan.
Peradaban modern
menurut psikolog dan konselor kejiwaan berpotensi membawa virus gangguan
kejiwaan. Hal tersebut disebabkan kekosongan spiritual keagamaan dalam diri
manusia modern. Pemisahan pemahaman keagamaan dari kehidupan dunia adalah
pemicu utamanya.
Sekarang, manusia
telah melewati fase yang biasa disebut sebagai peradaban modern. Istilah modern
ini berasal dari kata latin moderna yang artinya ‘sekarang’, ‘baru’
atau ‘saat ini’. Jika kita merujuk pada makna asli modern, maka dapat dikatakan
bahwa manusia selalu hidup di zaman modern. Oleh karena itu, kalau dilihat dari
segi waktu, sejarawan sepakat bahwa sekitar tahun 1500 adalah kelahiran zaman
modern di Eropa. sejak saat itu, kesadaran waktu akan kekinian muncul di
mana-mana. Akan tetapi yang dimaksud oleh para ilmuan tentang modern adalah
sebuah kesadaran kritis terhadap persoalan kekinian. Karena itu, istilah perubahan,
kemajuan, revolusi, pertumbuhan adalah istilah-istilah kunci kesadaran modern.
Dengan kesadaran inilah manusia kemudian mulai mengerahkan tenaga dan
fikirannya untuk mencapai modernitas. Atau dengan kata lain, fase modern ini
ditandai oleh kemajuan rasionalitas manusia.
Salah satu
kelebihan Islam dibandingkan dengan agama dan aliran kepercayaan lain ialah;
Islam merupakan agama social. Islam tidak sekedar menjelaskan tentang
kewajiban-kewajiban individual, seperti membangun kepribadian, penyucian jiwa,
dan ruhani, sekaligus tidak pernah menolak rasionalitas.
Tapi, secara umum dapat dimaklumi bahwa kebahagiaan merupakan tujuan yang
paling utama dan paling mendasar bagi seluruh umat manusia. Begitu juga
‘kebebasan’, merupakan keinginan manusia sejak dahulu kala hingga sekarang.
Kebebasan dan kebahagiaan adalah sifat kejiwaan manusia.
Dalam posisi seperti ini, manusia akan selalu dalam jaringan struktur dan
institusi yang diciptakannya untuk menunjang kehidupannya. Inilah yang kemudian
melahirkan peradaban manusia.
Tapi, makalah ini
tidak membahas kapan dan bagaimana awal sejarah era modern, siapa tokohnya dan
sampai kapan waktunya. Makalah ini hanya akan membahas konseling agama terhadap
gejala-gejala dan pengaruh kejiwaan manusia modern. Sehingga penulis membatasi
tulisan ini pada ciri modernitas yang berarti kesadaran kritis, perubahan pola
pikir, dan kemajuan, yang menjadi ciri khas istilah-istilah modern yang disebut
di atas. Jadi, bukan membahas tentang periodesasi modern. Sehingga orang-orang
yang tidak masuk dalam kategori tersebut tidak masuk dalam pembahasan kali ini.
Karena tulisan ini
diperuntukkan pada pengobatan gangguan kejiwaan manusia modern, maka pembatasan
yang lebih spesifik lebih fokus pada pengkajian pola pikirnya manusia modern,
gaya hidup, moral, etika dan dampak kejiwaan mereka; apakah dengan kemanjuannya
manusia akan mencapai kebahagiannya, atau justru larut dalam keangkuhan
kemampuannya; lantas bagaimana bagi yang mengidap gejala kejiwaan yang tidak
dapat menyelesaikan persoalannya, dan bagaimana obat penyembuhannya menurut
konseling agama.
Tinta
Emas dan Tinta Hitam Modernitas
Dalam era modern,
manusia telah menggapai tinta emas sejarah baru, ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) menjadi dimensi yang meliputi dan menjangkau seluruh kehidupan manusia.
Kemudian dengan kemajuan diberbagai bidang, manusia menjadi banyak dimanjakan
oleh peradaban modern. Pekerjaan yang semestinya baru dapat diselesaikan satu
bulan dimasa kuno, kini cukup sehari. Perjalanan yang tadinya harus ditempuh
berhari-hari, kini cukup dengan satu jam. Silaturahim yang tadinya harus
berjumpa darat, kini ada yang mengatakan cukup via telp, SMS dan email.
Modernisme secara kasat mata telah memajukan peradaban manusia.
Tak pelak jika
peradaban modern menjadi dewa pemikat bagi semenanjung penduduk dunia. Sehingga
ada kategori manusia modern ideal dan yang tidak ideal.
Artinya, manusia modern ideal adalah manusia yang dapat berfikir logis dan
mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Misalnya, manusia dengan bantuan iptek telah dapat memperpanjang tangannya,
memperkuat ototnya, menyambung indera dan otaknya. Bahkan, dengan iptek,
manusia mampu mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan terhadap adanya kehidupan
lain bagi manusia diluar kehidupan planet bumi.
Sedangkan manusia
modern yang tidak ideal adalah manusia yang hanya hidup di ‘masa’ modern, tapi
buta tentang pengetahuan modern, atau istilah yang sudah mashur adalah gagap
teknologi (gaptek). Pengertian manusia modern yang kedua ini sebagaimana
penulis katakan di atas; tidak masuk dalam pembahasan makalah ini.
Perubahan-perubahan
gaya hidup tersebut bersamaan dengan perubahan gaya makan dan pakaian.
Nampaklah budaya konsumtifisme dan konsumerisme tak dapat diingkari. Bahkan
gaya komunikasi dan interaksi turut lebur di dalamnya, sehingga budaya
hedonisme dan prestisisme cukup menonjol di sana. Dalam hal ini, Jocub
Burckhardt, menjelaskan bagaimana subyektifitas manusia modern dalam masyarakat
abad pertengahan lebih mengenali dirinya sebagai ras, rakyat, partai, keluarga
(marga), kelompok ormas (organisasi masyarakat) atau kolektif.
Lebih celakanya lagi, menurut Kiayi Mubarok, penggunaan alat transportasi dan
alat komunikasi modern menyebabkan manusia hidup dalam pengaruh global dan
bahkan dikendalikan olehnya, padahal kesiapan mental manusia secara personal
atau bahkan kelompok etnis tidak sama.
Dari keterangan
tersebut, terlihat jelas ada tiga tinta hitam yang menjadi penyebab gejala
kejiwaan manusia modern. Pertama, penyakit (kejiwaan) konsumeris dan
konsumtif;
- Pengidap
penyakit kejiwaan konsumeris biasanya tiap kali melihat barang yang ia
suka langsung dibelinya, meskipun barang tersebut sebenarnya sudah
dimiliki, hanya saja warna dan modelnya agak berbeda. Kemudian sebagai
bentuk justifikasi pembenaran, ia mengatakan untuk ‘koleksi’. Contoh kecil
yang penulis ketahui dalam hal ini adalah kehidupan keluarga menengah ke
atas, mereka menumpuk sepatu, tas, dan baju. Mereka tidak lagi
memperhitungkan alokasi keuangan atas kebutuhan primer, skunder, dan
tersier, apalagi kebutuhan orang lain. Mereka tidak dapat membedakan
antara kebutuhan dan keinginan. Akibatnya, rumahnya seperti gudang, dan
tata letaknya tidak rapi. Sehingga kondisi rumah menjadi kurang nyaman.
Hal ini akan sangat mempengarui kesehatannya, baik kesehatan fisik maupun
mentalnya.
- Pengidap
penyakit kejiwaan konsumtif biasanya pola makannya tidak teratur, apa saja
yang ia suka pasti diembat. Akibatnya, banyak penyakit yang bisa
mengancamnya secara fisik, misalnya; darah tinggi dan kolestrol.
Kedua, penyakit (kejiwaan) hedonis dan prestis;
- Orang yang
mengidap penyakit kejiwaan hedonis biasanya tidak mempedulikan
pergaulannya dengan siapa, dan apa yang dilakukan oleh kawannya mereka
jalankan, tidak peduli harus menenggak minuman keras atau mengkonsumi
narkoba, atau bahkan kumpul kebo. Sebagai dalihnya menganggap bahwa
perbuatannya itu demi persahabatan. Sehingga selama perbuatan itu dianggap
sebagai bentuk persahabatan ia rela melakukannya.
- Prestisitas
adalah gaya hidup yang ingin di wah-kan oleh orang lain.
Prestisitas sebagai penyakit jiwa manusia, hadir dalam berbagai bentuk
kedudukan, kelas perekonomian, atau lebih simpelnya ingin dikatakan
sebagai masyarakat berkelas. Misalnya kenapa orang lebih memilih makan di
Macd atau pizza dari pada di warung padang atau soto betawi, padahal
secara standar gizi tempat kedua yang terakhir ini tidak kalah. Karena
ketika orang makan di macdonal ada kepuasan kejiwaan dengan gaya
prestisitas. Di tempat itu seolah menurutnya akan terlihat simbol kelas
sosialnya. Hampir susah ditemukan pejabat di ibu kota Jakarta ini makan di
warteg. Karena di warteg sudah ada stigma untuk kaum miskin dan orang
jalanan. Manusia modern yang mengidap penyakit kejiwaan prestisitas ini
akan selalu sibuk dan kerja keras menyesuaikan diri dengan trend modern.
Mereka merasa sangat terikat untuk mengikuti skenario sosial yang
menentukan berbagai kriteria dan mengatur berbagai keharusan dalam kehidupan
sosial. Contoh yang lebih menarik diberikan oleh kiayi Mubarok adalah
istri pejabat yang harus selalu menyesuaikan diri dengan jabatan suaminya
dalam hal pakaian, kendaraan, asesoris, bahkan sampai bagaimana tersenyum
dan tertawa. Orang semacam itu adalah orang yang terjebak hidupnya dalam
penjara modernitas. Kalau menurut kiayi Mubarok, dengan meminjam
istilahnya Rollo May orang yang mengidap penyakit kejiwaan semacam itu
disebut sebagai ‘manusia dalam kerangkeng’.
Biasanya orang yang mengidap penyakit ini menganggap dirinya paling hebat,
atau sudah setara dengan bintang idolanya, dan menganggap remeh orang yang
berada di bawahnya.
Ketiga, kelemahan mental; tidak adanya keseimbangan antara akal dan mental.
Van derWeij,
menyatakan bahwa zaman modern ini selain ditandai oleh pesatnya kemajuan iptek,
juga ditandai oleh munculnya keterancaman, keterasingan, kejenuhan tanpa arti,
perang yang disertai dengan badai kekerasan, kebencian dan dehumanisasi serta
terorisme. Hal ini menurut Kiayi Mubarok, disebabkan oleh kapasitas intletual,
mental dan jiwa manusia yang tidak siap mengarungi rimba peradaban modern.
Kemudian Van derWeij lebih tegas mengatakan bahwa; zaman modern ini yang lebih
meresahkan dan menggelisahkan sebenarnya bukan kekerasan fisik, melainkan
pembusukan kepribadian dan hati nurani manusia.
Untuk mencapai apa
yang diingingankannya, manusia modern tega menggunakan kekerasan dan
manipulasi. Kekerasan pada hakekatnya lahir dari jiwa serakah dan rakus,
sedangkan manipulasi adalah sifat syaithan yang dimiliki manusia untuk
melakukan kebohongan. KH. Mustofa Bisri mengatakan: bohong, tamak, rakus dan
serakah pada hakekatnya adalah lahir dari ibu kandung yang satu, yaitu
kebodohan jiwa.
Konsekwensi
Logis-Psikologis
Manusia modern bisa
dikatakan telah mencapai puncak impiannya, memperoleh kemajuan pesat dibidang
iptek, tapi sayangnya, penemuan-penemuan itu sering kali digunakannya untuk
maksud-maksud destruktif. Jadi, manusia memang telah memperluas jangkuan dan
kualitas pengetahuannya, tapi mereka belum dapat mendekati ideal individualitas
dan realitas diri (self-realization). Di satu sisi, manusia memang
telah menemukan cara-cara memperoleh keamanan, kenyamanan, dan kenikmatan
hidup, tetapi pada saat yang sama mereka justru merasa tidak aman, tidak nyaman,
dan tidak nikmat serta merasa risau dan gelisah karena mereka tidak yakin akan
arti esensial kehidupan dan tidak tahu arah eksistensial yang mereka pilih
dalam hidupnya.
Sayyid Qutb
mengatakan; kemanusiaan sekarang berada ditebing jurang, bukan karena ancaman
penghancuran sedang melayang-layang di atas kepalanya, itu hanyalah gejala dari
penyakit dan bukan penyakit itu sendiri. Namun kerena kemanusian sedang
mengalami kebangkrutan dalam tataran “nilai”, nilai-nilai yang memelihara
kemajuan dan perkembangan manusia.
Atas perubahan tersebut, manusia harus bertanggungjawab karena terlibat dalam
proses evolusioner, sehingga menurut Ericc Fromm, hal ini menjadi kewajiban
bagi mereka untuk mengarahkan proses ini ke arah pemahaman “diri manusia” dan
bukan masalah sebaliknya.
Mestinya, dengan
kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia mampu berbuat lebih bijak dan arif,
tapi dalam kenyataannya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih
rendah dibandingkan dengan kemajuan berfikir dan teknologi yang dicapainya.
Dengan demikian, proses pemahaman diri manusia sangat diperlukan dan bersifat
berkesinambungan. Hal ini karena kemajuan yang dicapai manusia dalam peradaban
modern ternyata membawa keserakahan dan kegelisahan. Semua itu disebabkan tidak
adanya keseimbangan antara ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia dan kesiapan
mental di dalam dirinya.
Gangguan
Kejiwaan Manusia Modern
Selain yang penulis
sebut sebagai gangguan kejiwaan dalam catatan hitam modernitas, Balabanian
secara baik setidaknya telah mencatat beberapa gejala krisis kejiwaan yang
dialami oleh manusia modern, yakni: pertama, krisis spiritual, yang
ditandai dengan semakin memudarnya peranan agama dalam kehidupan, kebenaran itu
diukur oleh ilmu pengetahuan (rasionalitas). Sehingga kekuatan kontrol agamanya
terhadap dirinya telah hilang.
Kedua, krisis budaya sosial dan lingkungan, dengan adanya polusi dan
eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alam. Manusia modern pola
hidupnya cenderung nafsi-nafsi, hubungan dengan tetangga tidak seramah
masyarakat tradisionil. Akibatnya, tidak peduli dengan kelestarian lingkungan. Ketiga,
krisis emosional psikologis, dengan digantikannya nilai-nilai kemanusiaan
menjadi nilai-nilai mesin (mekanik). Sistem kerja yang tadinya mengandalkan
kaum pekerja, kini dengan kemajuan tekhnologi diganti dengan mesin-mesin.
Akibatnya, dengan populasi penduduk yang semakin pesat, pengangguran menjadi
keniscayaan. Bersamaan dengan itu, bagi mereka yang masih mendapat peluang
kerja, mereka dituntut mati-matian mengikuti cara kerja mesin yang dibuatnya
sendiri.
Kalau kita amati,
krisis-krisis tersebut sebenarnya kebanyakan disebabkan oleh manusia sendiri.
Manusia menjadi terbelenggu oleh alat-alat tekhnik yang dibuatnya dan hidup
secara mekanis mengikuti buatannya itu. Akibatnya, muncul situasi dalam bentuk
ketegangan yang dialami oleh manusia modern sebagai akibat
penyerapan-penyerapan mekanisme secara berlebihan. Krisis yang kebanyakan
disebabkan oleh manusia tersebut, selain mengancam manusia sekarang, juga
mengancam kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
Dari kompleksitas
persoalan dunia modern, secara sederhana dan tepat, kiayi Mubarok telah
mendiagnosis penyakit kejiwaan manusia modern, di antaranya berupa; (1)
kecemasan, (2) kesepian, (3) kebosanan dan prilaku menyimpang, (5)
psikosomatis.
1. Kecemasan.
Perasaan cemas yang
diderita manusia modern bersumber dari hilangnya makna hidup, The meaning
of life. Fitrah manusia pada dasarnya membutuhkan akan arti kehidupan.
Makna hidup akan dimiliki oleh manusia manakala ia memiliki kejujuran dan
merasa hidupnya dibutuhkan oleh orang lain, dan merasa mampu dan telah
mengerjakan sesuatu yang bermakna untuk orang lain. Sedangkan kecemasan manusia
modern lebih pada ketakutan kalau tidak dapat menyeimbangi atau menyaingi daya
saing dengan lain.
2. Kesepian.
Karena hidup dalam
kerangkeng atau topeng, manusia modern berpotensi mengidap penyakit kesepian,
meskipun berada di tengah keramaian. Mereka mengenalkan dirinya bukan sebagai
kepribadiannya, akan tetapi yang dikenalkan pada orang lain adalah
topeng-topeng sosial yang ia kenakan. Hal ini menyebabkan hubungan antar
personal tidak lagi tulus dan hangat sebagai dirinya. Akan tetapi lebih pada
topeng-topeng yang menjadi simbol yang menutupi wajahnya. Senyum dan pujian
yang ia terima dari orang lain di anggap senyuman topeng, sebagaimana ia
memberikan senyuman basa-basi pada orang lain. Bahkan senyum kekasihnya
sendiri di anggap senyuman topeng, karena dianggap sebagaimana ia menggombal
pada padanya.
3. Kebosanan.
Manusia yang
mengidap kecemasan dan kesepian akan mudah terserang penyakit kejiwaan berupa
kebosanan. Mereka bosan hidup dalam kepalsuan topeng. Biasanya orang yang
mengidap bosan model manusia modern ini akan lebih menarik diri, karena
menganggap sudah tidak ada kawan yang tulus sebagai tempat curhat. Akibatnya
mereka akan mudah mengambil jalan pintas (prilaku menyimpang) apa saja yang
dianggap dapat menghibur dirinya.
4. Psikosomatis.
Psikosomatis adalah
gangguan fisik yang disebabkan faktor-faktor kejiwaan dan sosial. Pada umumnya
manusia yang merasa beban (tuntutan) sosialnya besar, akan mudah terserang
gangguan jiwa. Beban sosial yang saya maksud adalah tuntutan yang harus
dikerjakan dirinya agar dapat menyaingi orang lain dalam menggunakan
topeng-topeng sosial. Orang semacam ini emosinya akan selalu membara, dan jika
tidak terpenuhi keingannya akan mudah kena goncangan jiwa dan kekacauan
berfikir.
Psikomatik ini
dapat juga disebut sebagai penyakit gabungan antara fisik dan mental.
Sebenarnya, yang sakit adalah jiwanya, tapi menjelma dalam bentuk penyakit
fisik. Penderita penyakit ini biasanya sering mengeluh merasa tidak enak badan,
jantungnya berdebar-debar, merasa lemah dan sulit untuk berkonsentrasi.
Wujudnya bisa dalam bentuk syndrom, trauma, stress, ketergantungan pada obat
penenang, alkohol, narkotik atau perbuatan menyimpang. Mereka bagaikan penghuni
penjara yang sudah tidak lagi menyadari bahwa terali besi modernitas merupakan
belenggu. Bagianya, hidup memang sudah semestinya seperti yang digambarkan dan
dilakukannya.
Terapi
Kejiwaan Untuk Manusia Modern.
Bagian ini secara khusus akan memberikan
pencerahan jiwa yang sesungguhnya, dan menjadi kesimpulan tulisan bahwa;
peradaban modern atau yang disebut sebagai abad pencerahan memang banyak
membawa kemajuan di segala bidang, akan tetapi banyak menyisakan limbah-limbah
kejiwaan manusianya. Sebagaimana keterangan di atas, setidaknya menurut penulis
ada tujuh penyebab gangguan kejiwaan manusia modern, dan Islam memiliki potensi
penyembuhannya.
Penyebab gangguan
kejiwaan itu di antaranya ialah; (1) keringnya nilai agama di kancah keduniaan
(sekulerisasi), (2) terjebak dalam penjara modernitas, (3) hilangnya makna
hidup, (4) salah memilih figure (teladan) dalam hidup, dan (5) salah
memilih teman, serta (6) dikuasi oleh nafsu sombong dan (7) keserakahan. Karena
Islam menurut penulis berpotensi mencerahkan kehidupan, maka pencerahan jiwa
yang sesungguhnya adalah menurut pemahaman agama ini. Sebagaimana menurut
Victor Frankl, salah satu tokoh psikologi eksistensialis, mengatakan: pada
umumnya, agama adalah sumber makna yang tidak pernah kering.
Untuk mempermudah
pengobatan atau pencerahan terhadap pengidap gangguan kejiwaan manusia modern
tersebut, penulis mencari padanan makna dan akar persoalan dari semua persoalan
yang kiranya dapat mewakili dari kesemuanya itu, yaitu; keterjebakan jiwa
manusia dalam penjara modernitas. Menurut Dr. Muhammad Iqbal, sebenarnya, Islam
mengakui adanya suatu fakta penting dalam psikologi manusia, yakni fluktuasi
(penguasaan) kemerdekaan jiwa manusia. Oleh karena itu, Islam harus memiliki
sistem pengendalian atau pengobatan bagi pengidap penyakit kejiwaan. Menurut
Kiayi Mubarok; sistem pengobatan jiwa manusia modern setidaknya ada dua macam;
yakni di bedakan antara pengidap gangguan kejiwaan yang masih dapat diajak
dialog dan yang sudah tidak dapat diajak berargumen (bicara).
Pertama, apabila manusianya masih dapat diajak berbicara, kita dapat memberikan
spirit agama dan makna hidup yang sesungguhnya dengan dialogis dan
argumentatif. Atau, kalau ia termasuk orang yang paham agama, cobalah ingatkan
kembali tentang nasehat-nasehat agama. Misalnya dengan hadist-hadist Nabi SAW,
yang salah satunya di riwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib k.w. bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah mengingatkan kepada umatnya; dua golongan yang sangat saya
kawatirkan di antara kalian adalah pengikut hawa nafsu dan banyak keinginan (thula
al-amal), pengikut hawa nafsu akan terhalang untuk mendapatkan kebenaran
haqiqi, sedangkan orang yang banyak keinginannya adalah orang yang cinta dunia.
Dan ingatlah, bahwa Allah memberikan dunia ini kepada orang yang dicintai dan
juga kepada orang yang dibenci, dan jika ada seseorang suka dengan petunjuk
keimanan, maka, ingatlah bahwa agama pasti ada kelompok pengikutnya (al-din
abna’), dan dunia juga ada kelompok pengikutnya (al-dunya abna’),
maka, jadilah kalian penganut kelompok agama (abna’ al-din), dan
jangan menjadi pengikut faham dunia (abna’ al-dunya), dan ingat! Dunia
ini akan selalu berpindah kepemilikannya, sedangkan akhirat adalah masa depan
yang abadi. Rasulullah juga menambahkan dalam hadist lain; maukah kalian masuk
surga? Mereka menjawab; mau wahai rasulullah, Nabi SAW kemudian menghimbau:
batasilah keinginan kalian, dan letakkanlah ajal kematian dikelopak matamu, dan
terapkan budaya malu kepada Allah dengan sungguh-sungguh.
Surga adalah tempat
yang sesuai dengan naluri manusia, ingin aman dan bahagia. Frankl mengatakan;
jika seorang pasien itu dalam keadaan paling sulit skalipun, atau dalam stadium
terakhir, ketika kita beri spirit indahnya surga, ia akan menjadi orang yang
sabar. Karena orang yang sabar itu sangat layak untuk masuk surga.
Kedua, apabila sudah tidak dapat diajak kompromi, dan kelihatannya
pemikirannya sudah komplek, kita tidak boleh memberikan celah berfikir yang
ruwet lagi. Maka, mengajaknya untuk beribadah dan berdzikir, terutama dengan
dzikir jahr (keras) adalah bagian alternatif yang sangat bagus dan
kondusif. Karena irama dan suasana dzikir jahr itu akan membawa mereka
pada suasana yang romantis dan indah. Menurut Dr. Muhammad Iqbal, bahwa;
penentuan waktu sholat sehari-hari adalah untuk memulihkan self-possession
(pemilikan diri sendiri) jiwa manusia untuk mendekatkan diri pada sumber pokok
kehidupan dan kemerdekaan sejati, serta mengingatkan manusia dari keteledoran
hidup.
Fahruddin al-Razi mengatakan; setidaknya ada tiga efek positif yang dapat
dirasakan oleh orang yang beribadah, yaitu; ibadah (1) dapat membentuk manusia
yang sempurna (kamil), (2) membentuk sifat amanah (tanggungjawab), dan
(3) menciptakan suasana kegembiraan dan suka cita.
Pengaruh ibadah ini
sangat kuat untuk menumbuhkan semangat pembebasan dan kemerdekaan dari
perbudakan makhluq, baik berbentuk benda maupun manusia. Mike Young, salah
seorang yang menjadi subyek penelitian penyembuhan melalui pengalaman ruhaniah
di Harvard, menyaksikan; hanya dengan satu sesi, aku telah memperoleh
pengalaman ruhaniah yang mungkin tidak dapat aku peroleh dengan ratusan atau
bahkan ribuan jam membaca. Dengan ibadah pemikirannya soal keduniawiaan akan
terseteril dengan nuansa baru, insyaallah.
Pandangan
Hidup Ajaran Islam
Kesalahan persepsi dalam hidup, manusia modern
menjadi terpenjara dalam sosial dan budaya. Kekeliruan persepsi tersebut
mengakibatkan prilaku yang salah. Sehingga tidak mendapatkan buah modernitas
sebagaimana mereka yang tetap dalam kedirian ajaran agamanya. Seseorang yang
memiliki pandangan yang benar ia akan tetap hidup dalam segala kondisi dan
situasi, baik di masa modern ataupun tradisional.
Dalam ini, Islam memberikan kontribusi yang luar biasa untuk menggapai
kesuksesan hidup, baik di dunia dan akhirat, di antaranya ialah; (1) tujuan
hidup, (2) fungsi dan tugas hidup, (3) alat hidup, (4) teladan hidup, (5)
memilih kawan dan lawan.
1. Tujuan hidup.
Manusia di ciptakan
tidak lain hanyalah untuk mengabdi. Dalam posisi ini manusia adalah sebagai
hamba Allah yang mestinya segala sesuatu perbuatannya itu dilandaskan untuk
mencari ridha Allah SWT, tidak karena kepentingan kekuasaan, atau karena
prestisitas keduniaan.
2. Fungsi dan tugas
hidup.
Manusia diciptakan
adalah sebagai khalifah-Nya. Sebagai khalifah, manusia mempunyai
tanggungjawab mengatur, melestarikan dan menjaga seisi bumi yang
diamanatkanNya. Dengan megemban amanat tersebut hidup manusia akan bermakna.
Jika, amanat tersebut diabaikan akan sirna atau kabur arti hidupnya.
3. Teladan hidup.
Sebagai khalifah,
manusia mestinya harus dapat menjadi teladan hidup bagi yang lain. Khalifah
dalam tahap ini mesti dapat memberikan teladan kepada yang lain dalam
menegakkan keadilan, dan mengayomi kaum yang teraniaya. Akan tetapi dalam satu
sisi, manusia sebagai hamba pasti punya kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, ia
harus memiliki figure (panutan) hidup. Teladan terbaik manusia adalah Nabi
Muhammad SAW, beliau adalah qudwah khasanah. Jika ia salah
memilih figure hidup sama halnya ia salah memilih sopir pribadinya.
4. Memilih kawan
dan lawan.
Dalam islam, semua
orang mukmin adalah kawan, maka bergabung dan kerjasama dengan mereka adalah
pilihan terbaik. Sedangkan lawannya orang mukmin adalah syaithan dan nafsu.
Untuk itu, jangan coba-coba bermain dengan syaithan dan nafsu karena akan
menjerat leher dan urat nadi keberagamaanmu, mereka adalah musuh abadi.
Penutup
Demikian makalah ini dibuat, semoga bermanfaat. Semua kekurangan adalah
tanggungjawab penulis. Untuk itu, saran dan kritik menjadi harapan yang utama
dan akan diterima dengan senang hati. Terimakasih kepada semua pihak yang mau
membaca dan terutama mau mendiskusikannya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Referensi
Ahnan, Maftuh Filsafat
Manusia, CV. Bintang Pelajar. tt.
Amuly, Ayatullah
Jawad, Wilayat Faqih, Wilayat, Fuqahat, wa ‘adâlat, Penerbit; Markaze
Nasr Isrâ’, Qum, Iran, Cet, ke-5, Murdad 1384 HS
Bisri, KH.
Musthafa, Asy’ab, artikel dalam majalah Bina Pesantren, Penerbit, P3M,
Cililitan, Jakarta. Edisi 4, th. 2004.
From, Ericc,
memiliki dan menjadi, (terj; Soesilo), Jakarta, LP3ES, 1987.
Iqbal, Dr.
Muhammad, Membangun Kembali Pikiran Agama Dalam Islam, tej; Ali Audah,
Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Penerb, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1982.
Imam Ghazali, Ihya
ulum al-din, penyelaras: Dr. Badawi Thibanah, juz-4, Penerbt; Al-Haramain,
Singapura, Jeddah, Indonesia, tt.
N. Balabian,
Benarkah Teknologi itu Netral?, PT. USICA, Jakarta, 1980, hal, 1.
L. Euben, Roxanne,
Musuh Dalam Cermin, Fundamentalisme Islam Dan Batas Rasionalisme Modern, terj.
Satrio Wahono, Enemy in the miror: Islamic Fundamentalism and the limits of
modern rasionalism, A Work of Comperative Political theory, PT. Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta, cet-1, Juni 2002.
Rahmat, Jalaluddin,
Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, PT. Mizan Pustaka, Bandung, cet, ke-2,
th. 2004.
————————
Jakarta, Desember 2007.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarja Fakultas
Dakwah, UIA-Jakarta.
Makalah ini dipresentasikan pada perkuliahan Konseling
Agama
di bawah bimbingan; Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA.