Perilaku Merokok
WAWANCARA DENGAN Drs. Mudjiran,
M.Pd., Kons (KONSELOR, DOSEN PSIKOLOGI UNP)
Apa yang menyebabkan orang
tidak bisa berhenti merokok atau jika bisa akan membutuhkan waktu yang lama
untuk berhenti?
Ketergantungan psikologis dan
ketergantungan nikotin. Perokok tidak bisa menahan keinginan untuk merokok
tersebut karena beberapa faktor, misalnya faktor kebiasaan. Merokok sudah
menjadi kebiasaan rutin dan menjadi perilaku otomatis, seringkali tanpa
dipikirkan dan disadari. Jika lingkungan memfasilitasi, akan sulit bagi perokok
untuk berhenti. Misalnya, teman-teman kantor atau sekolah juga merokok. Jika
ada stimulus yang memungkinkan untuk merokok, maka seseorang cenderung merokok.
Nikotin yang ada di dalam rokok itu
di terima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian membaginya ke jalur
imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan rasa
nikmat sehingga memacu sistem dopamine. Hasilnya perokok akan merasa lebih
tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.
Sedangkan pada jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik
pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan serotonin. Meningkatnya
serotonin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok
lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok
karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa
nikmat yang diperolehnya akan berkurang.
Apa saja dampak psikologis
yang ditimbulkan dari perilaku merokok?
Merokok mempengaruhi perilaku dan
psikologis seseorang. Efek dari rokok/tembakau memberi stimulasi depresi
ringan, gangguan daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran, tingkah laku, dan
fungsi psikomotor. Misalnya, kurang energi, egois, frustasi, kegugupan,
konsentrasi rusak, pusing, mengantuk, kelelahan, insomnia, detak jantung tidak
teratur, berkeringat, ketagihan rokok, perasaan bersalah, isolasi sosial,
depresi, masalah kerja atau sekolah, dan lain sebagainya.
Kenapa perokok selalu
bereaksi menentang atau marah jika dilarang merokok, bahkan cenderung
berbohong?
Perilaku itu merupakan salah satu
bentuk mekanisme pertahanan diri. Perokok cenderung berasionalisasi dan
mencari-cari alasan karena tidak ingin dilarang untuk merokok.
Apakah benar merokok dapat
mengatasi stress?
Merokok tidak ada kaitannya sama
sekali dengan stress, depresi, atau pun masalah psikologis lainnya. Jika ada
orang yang merokok untuk mengatasi stress, maka perilaku merokok itu hanya
sebuah pelarian. Merokok hanya melupakan sementara saja stressor (penyebab
stres) karena untuk sementara waktu konsentrasi beralih pada rokok dan stressor
terlupakan. Tetapi, setelah selesai merokok, konsentrasi akan kembali lagi pada
stressor tersebut.
Menurut Survei Sosial Ekonomi
(Susenas), prevalensi merokok pada perempuan dewasa meningkat dari 1,3% pada
tahun 2001 menjadi 4,5% pada tahun 2004. Kenapa perempuan juga merokok dan
jumlah perokok perempuan meningkat, Pak?
Perempuan yang merokok mempunyai
pengendalian diri yang kurang. Perempuan cenderung stress dan menganggap rokok
efektif untuk mengatasi stress. Perempuan labil secara emosional sehingga
menjadikan rokok sebagai pelarian.
Bagaimana dengan remaja yang
merokok, Pak? Bagaimana dampaknya?
Banyak faktor yang mempengaruhi remaja
merokok. Pengaruh orangtua salah satunya. Jika orangtua merokok, berkemungkinan
anaknya juga merokok karena anak mengalami proses identifikasi (meniru) tingkah
laku orangtua. Kebanyakan remaja merokok karena alasan pergaulan.Remaja perokok
kemungkinan besar teman-temannya juga perokok aktif. Apalagi remaja rentan
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Faktor kepribadian juga
mempengaruhi.Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin
melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari
kebosanan. Perilaku merokok ini tak terlepas dari pengaruh iklan rokok di
media. Remaja yang merokok mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengalami
ketergantungan, mengalami kehilangan kepercayaan diri dari usia remaja, dan
cenderung berbohong pada orangtua dan guru. Sebenarnya, perokok laki-laki juga
mengalami isolasi sosial karena sebagian besar lawan jenisnya tidak menyukai
pria perokok.
Perilaku merokok pada remaja
dapat meningkatkan resiko munculnya gangguan kecemasan pada masa remaja akhir
dan masa dewasa awal. Bagaimana tentang pernyataan tersebut, Pak?
Ya, akan banyak muncul
kecemasan-kecemasan pada masa remaja akhir dan dewasa awal tersebut. Misalnya,
perasaan bersalah, kecemasan akan mengalami impotensi, kecemasan bahwa pasangan
tidak akan dapat menerima dirinya.
Bagaimana penanganan bagi
mereka yang merokok?
Yang paling efektif itu adalah
pengendalian diri, bagaimana perokok itu mencoba mengatasi permasalahan tanpa
harus merokok. Memotivasi diri untuk tidak merokok merupakan salah satu upaya
yang dapat dilakukan. Berbagai keterampilan dan kemampuan juga dibutuhkan.
Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan rasa cemas, dan berani menolak ajakan untuk merokok. Menurut saya, punishment
tidak terlalu efektif karena tak semua orang yang taat pada peraturan.
Peran orang-orang yang disayangi dan dicintai juga penting. Misalnya, jika
istri yang mengingatkan untuk tidak merokok, berkemungkinan larangan itu akan
didengar dan dipatuhi. Tak lupa, norma sosial yang menimbulkan efek jera karena
malu.
Apa yang membuat mereka yang sudah
berhenti merokok, namun kembali merokok?
Setiap orang mempunyai daya tahan
psikologis yang berbeda-beda. Kemungkinan, mereka ini mempunyai daya tahan
psikologis yang masih rapuh. Ada sebagian dari mereka yang belum mampu
mengendalikan diri dan belum menemukan strategi untuk mengatasi keinginan itu.
Masa
remaja adalah masa dimana mereka mulai memisahkan diri dari orangtua dan
bergabung pada kelompok sebaya. Apalagi kebutuhan untuk diterima sering kali
membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima dalam kelompok dan bebas
dari sebutan “pengecut” dan “banci”.
Bagaimana
perilaku merokok ini dapat menular? Salah satu yang dapat menjelaskan adalah
dengan teori social cognitive learning dari bandura. Teori ini menyatakan bahwa
perilaku individu disebabkan oleh pengaruh lingkungan, individu dan kognitif.
Jadi, perilaku merokok bukan hanya proses meniru, namun ada penguatan dari
teman sebaya dan keluarga bila sama-sama merokok.
4 tahap
perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu:
- Tahap Preparatory, seorang
mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara
mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat
untuk merokok.
- Tahap Initiation. Tahap
perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang yang akan meneruskan
ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
- Tahap Becoming a Smoker.
Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per hari maka
mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
- Tahap Maintenance of Smoking.
Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan
diri (self-regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis
yang menyenangkan.
Avin
Fadilla Helmi dan Dian Komalasari memberikan saran bagi orangtua menghindari
anak tidak merokok:
- Bagi orangtua yang menginginkan
anaknya tidak merokok maka anggota keluarga tidak disarankan merokok atau
tidak memberikan pengukuh positif ketika remaja merokok.
- Teman sebaya memberikan kontribusi
yang cukup besar kepada remaja untuk merokok, dalam hal ini jika orangtua
tidak menginginkan anaknya merokok, maka orangtua perlu waspada pada
kelompok sebaya anaknya.
- Perilaku merokok lebih didasarkan atas
pertimbangan emosional. Berkaitan dengan masalah tersebut upaya preventif
maupun kuratif sebaiknya tidak menggunakan pendekatan kognitif seperti
pemberian informasi bahaya atau dampak negatif merokok, tetapi
sentuhan-sentuhan afeksional atau pendekatan emosi.